.Selasa, 11 November 2014 M – 18 Muharram 1435 H
Penulis: Murni Utami
Ki Hajar Dewantara memiliki
nama asli R.M. Suwardi Suryoningrat yang berasal dari keluarga keturunan
Keraton Yogyakarta. Beliau mengganti namanya tanpa gelar bangsawan agar dapat
lebih dekat dengan rakyat. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, beliau
belajar di Stovia, tetap tidak menamatkan karena sakit. Beliau kemudian bekerja
sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain De Express, utusan Hindia
dan kaum muda. Sebagai penulis yang handal, tulisannya mampu membangkitkan
semangat antikolonialisme rakyat Indonesia.
Ki Hajar Dewantara juga aktif
di bidang politik dengan bergabung ke dalam Budi Utomo, lalu mendirikan
Indische Partij sebagai partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di
Indonesia pada tanggal 25 Desember 1912 bersama kedua rekannya, Douwes Dekker
dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Beliau juga ikut membidani terbentuknya Komite Bumi
Putera tahun 1913 sebagai bentuk proses terhadap rencana Belanda memperingati keerdekaannya
dan Prancis. Beliau kemudian membuat sebuah tulisan pada harian De Express yang
berjudul “Als Ik Een Nederland” (seandainya aku seorang Belanda). Melalui
tulisan ini ia menyindir Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaannya
dan Prancis di negeri jajahan dengan menggunakan uang rakyat Indonesia. Berikut
ini kutipannya:
“Sekiranya aku seorang
Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang
telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan fikiran itu,
bukan saja tidak adil, tapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander
memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk melaksanakan
penyelenggaraan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula
kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang
Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
ialah kenyataan bahwa ilander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang
tidak ada kepentinga sedikitpun baginya”.
Akibatnya Belanda pun langsung
menjatuhkan hukum pengasingan. Bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo
dibuang ke Belanda. Di Belanda, Ki Hajar Dewantara memanfaatkan kesempatan
mendalami masalah pendidikan dan pengajaran. Setelah kemb ali ke tanah air, Ki
Hajar Dewantara memusatkan perjuangan melalui pendidikan dengan mendirikan
Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang
terkenal ialah ing ngarsa sung tulodo. Ing madya mangun kansa dan Tut
Wuri Handayani. Artinya adalah di depan memberi teladan, di tengah memberi
semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Berkat jasanya yang besar di
dalam pendidikan, maka pemerintah menetapkan beliau sebagai Bapak Pendidikan
dan tanggal lahirnya, 2 Mei, sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tahun 1957
beliau mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada. Dua tahun
setelah mendapat gelar beliau meninggal dunia tepatnya pada tanggal 26 April
1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Pesan Ki Hajar Dewantara “Aku
hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia ddengan cara Indonesia. Namun
yang penting aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun
batin aku tak pernah mengkorup kekayaan negara”.
Salah satu yang patut
diteladani dari Ki Hajar Dewantara ialah kesahajaan hidup sederhana. Bukan hidup
sederhana karena takut konsumtif dan boros. Bukan pula karena khawatir jatuh
miskin. Tetapi hidup sederhana untuk merdeka lahir batin. Barang siapa ingin
merdeka, harus berani hidup dari hasil usahanya sendiri. Hidup yang melampaui
batas kemampuan usahanya, akan membawa orang terlibat hutang yang membelenggu
dirinya. Dengan demikian hilanglah kemerdekannya, sebab sedikit banyak hidupnya
sudah dikuasai oleh orang lain. | JUSTIC