CURHAT - SELAMAT JALAN BRIPTU RUDIANTO ANDESRA








ilustrasi
Tak pernah kubayangkan ketika rasa dari penyesalan yang satu ini sangat menyakitkan. Jantungku serasa tak berdetak, hatiku serasa mati, nafasku tercekat sa’at ku menahan satu bulir air mata. Aku tak pernah ingin percaya tapi kenyataan selalu membuatku ingin menangis. Dan aku hanya ingin satu permintaan sekarang……. Kembalikan waktu itu kembali.


Kata benci yang terlanjur hinggap ternyata telah membuatku menjadi wanita terbodoh sepanjang masa, dan itu yang kurasakan sekarang. Yang sebenarnya kau tak membencinya karna aku terlanjur menyayanginya hingga tak rela ada orang lain yang lebih ia sayangi selainku. Aku egois tapi aku bukan orang munafik yang tak memiliki perasaan. Justru karena perasaan yang rentan sifat itu mampu bertahan lama didiriku.


Aku sudah terbiasa disayangi olehnya dan yang lainnya. Tapi ia berbeda, ia adalah kakak yang selalu kubanggakan. Ia tampan, tinggi, baik, rajin beribadah dan ia seorang polisi. Malahan ia telah sampai tingkat 2 diumurnya yang masih muda, seorang Briptu di divisi penyelidikan narkoba dan aku sangat bangga.


Tapi rasa bangga itu mulai terkikis saatku merasa kasih sayangnya mulai berkurang sangat terasa, aku mulai bertanya-tanya apa yang salah denganku. Aku tak cantik? Ku akui. Aku tak pintar? Itu juga kuakui. Lalu apa?. Akupun mulai menggerti dia tak hanya memiliki satu sepupu, dia memiliki banyak sepupu lainnya. Tapi, bisakah hanya dihadapanku, hanya dihadapanku, aku hanya ingin merasakan rasa sayang itu kembali.


Hari itu, yaa aku masih ingat kau terbangun dari tidurmu saat aku datang, aku senang karna biasanya kau sering kali sedang tertidur. Rasanya malu sekali saat flu tak bisa kompromi, sehingga suara aneh sering kali keluar. Kau tertawa dan yang lain pun juga dan aku suka kehangatan keluarga seperti ini. Yang paling kuingat saat itu adalah kau berlari keluar mengejarku dan memberiku selembar uang lima puluh ribu. Aku senang ini pertama kalinya setelah sekian lama aku tak mendapatkannya darimu. Kau tahu bahkan hatiku berat untuk membelanjakannya.


Saat hari demi hari berlalu kau jatuh sakit, aku bahkan baru tahu saat bulan kedua kau sakit, sekali lagi rasa itu hinggap, aku tak peduli jika kau sakit. Suatu hari ayah mengajakku untuk melihatmu, aku setuju hanya untuk kali ini saja. Saat kumelihatmu, aku tak melihat wajah hangat dan dialiri darah yang aku lihat hanya kulit putih yang sedang menggigil kedinginan. Aku berusaha tak peduli tapi kenyataannya aku peduli.


Saat malam dalam tidurku suara bising menganggu tidurku, ibuku berbicara dengan orang lain entah siapa itu, suranya seperti orang yang menangis, namun aku tak terlalu menanggapinya. Kemudian ibu membangunkanku dan berkata bahwa kau telah tiada. Aku hanya diam dan melanjutkan kembali tidurku ditemani setetes air mata.


Keesokan harinya aku pergi menuju rumahmu, dalam hati aku bertekad tak akan menangis, tak akan. Tapi kenyataan selalu berbanding terbalik. Dadaku serasa sesak jika air mata ini tak segera mengalir, aku kalah karena aku menangis. Aku berusaha untuk berhenti tapi air mataku malah bertambah. Aku bahkan tak sempat melihatnya, wajahnya untuk terakhir kalinya. Kenapa harus seperti ini? Aku memang tak peduli jika ia sakit tapi bukan berarti aku juga tidak akan peduli kalau dia pergi. Aku menyesal kata-kata itu hadir dalam benakku.


Aku teringat aku bahkan tak ingat untuk mendoakan kesembuhannya, sekarang siapa yang tak peduli padanya, aku merasa payah. Aku bahkan tak bisa ikut menyalatinya. Aku menyesal. Sayup-sayup bisikan orang-orang terdengar. Mereka membicarakan tentang penyakitmu yang aneh, kata-kata ini sama dengan pernyataan ibu. Walau awalnya kau tak ingin percaya tapi buktimenyatakan kebenaran itu ada. Air mata sedih bercampur benci mengalir diiringi pemakamanmu. Aku sedih karena tak akan dapat melihatmu lagi, aku sedih karena…. Kenapa ada orang yang tega melakukan ini padamu.


Aku ingin mengutuk orang itu, ingin orang itu merasakan penderitaanmu, aku ingin memukul orang itu, bahkan ingin membunuhnya karena ia sudah tega merenggutmu dari sisi keluargamu. Tapi aku harus apa, aku hanya manusia biasa sepertimu. Seperti kata ustadzku aku harus mengikhlaskanmu untuk selamanya. Hujan datang setelah pemakamanmu, ibuku berkata kau meninggal dalam keadaaan baik. Aku tersenyum lega setidaknya itu dapt membuatku tenang.

Selamat jalan Briptu Rudianto Andesra..
Selamat jalan kakakku tersayang Bang Rudi……………
Justic Media

Situs ini adalah ruang publikasi berita dan informasi dan karya seni santri-santri Pondok Pesantren MTI Canduang, Agam, Sumatera Barat, Indonesia yang dikelola oleh Jurnalis Santri Tarbiyah Islamiyah Canduang sejak Selasa 07 Agustus 2007

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama