Babereh-bereh, Kenapa dengan Diriku

Ditulis oleh: Fajriaty Jamiyl
Senin, 4 Mei 2020 M - 11 Ramadhan 1441 H

Photo: Sumber alinea.id
Sebuah rumah kutemukan untuk berlindung dari badai hujan malam ini. Dengan balutan jas hujanku yang tipis dan perutku yang mulai keroncongan, aku berjalan mendekatinya karena merasa lelah melewati perjalanan di siang hari.

Suasana malam itu sangat mencekam, haru biru berhasil menyelimuti rasa takutku yang berkecamuk dalam diri. Dingin dan cukup lembab, sangat terasa oleh kulit, juga lapar.


Setelah sampai di balkon rumah. Aku bermaksud ingin meminta pertolongan orang rumah. Lalu ku ketuk pintunya. Sudah sampai tiga kali mengetuk, namun
tak kunjung dijawab si pemilik rumah.

Aku berusaha berprasangka baik. Mungkin pemilik rumah sedang memenuhi
panggilan alam di bagian belakang rumahnya. Di WC. Setelah 10 menit bersabar menunggu di balkon, aku menduga pemilik rumah telah selesai membuang hajatnya. Dengan penuh kesabaran dan rasa harap, kembali ku ketuk rumah sederhana ini. Namun, lagi-lagi tak ada yang menjawab.


Aku penasaran, kenapa tidak ada yang menjawab. Ada apa gerangan. Ku lihat
sekeliling rumah. Normal, seperti rumah lainnya yang kutemui, tak ada yang
mencurigakan. Ku lihat rumahnya juga terang karena lampu. Lalu ku coba
pegangi gagang pintu rumah itu, kemudian perlahan ku dorong sedikit demi
sedikit. Ternyata tak tertutup rapat dan tidak terkunci, sedikit terbuka.

Ku beranikan diriku memasuki rumah itu, tak lupa ku baca salam, dan memanggil-manggil pemilik rumah. Namun sama saja, tak ada jawaban.

Aku berusaha menelusuri setiap sudut ruang demi ruang rumah itu. Mencari penghuni rumah.Tiba-tiba, seisi ruangan gelap. Ku lirik juga rumah tetangga sekitar yang jauh lewat jendela rumah. Kelam. Tak ada satupun pelita yang hidup. Makin ngeri. Sekampung mungkin mati lampu.

Pap. Pap. Pap. Hampir tak bersuara. Hanya instrumen kecil dari jangkrik dan katak yang menemani suasana mencekamku.

Aku berusaha untuk kembali fokus menelusuri rumah itu, dan membawa sejata
serta lampu emergency yang kutemui di atas meja tamu mereka. Ku letak senjata di tangan kanan ku. Dikhawatirkan akan ada yang menyerang dari salah satu sisi tubuhku. Sementara lampu tadi, kubiarkan tergeletak di atas meja. Kemudian aku berjalan dengan memelankan derap langkah kaki kanan dan kiriku.

Masih kupantau dan kucari tau, ada apa gerangan yang terjadi di rumah ini.
Sementara bulu ramangku telah berdiri sedari tadi. Manggaletek kedua kakiku.
Perasaanku semakin tidak enak. Tak lama, terhendus olehku bau sesuatu yang
membuat perutku agak mual.

"Aaaaaaaaaa....".

Aku terpekik dan tidak disadari kedua tanganku telah menutupi mulutku. Untuk meredamkan pekikanku yang cukup melengking tadi. Senjataku tadi—Revolver. Terhempas jatuh ke lantai. Berderam. Seolah tiada guna.

Tiga orang manusia bergelimpangan seperti nyamuk yang selesai dibunuh dengan kejamnya dengan tangan atau racun nyamuk. Tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir di keramik putih yang hampir memenuhi ruangan. Berbau menyengat dan menggempulkan asap pertanda darah itu hangat.

Mereka baru saja dibunuh.

Aku merasa linglung harus berbuat apa. Karena aku cuma seorang miskin dalam perjalanan menuju rumah kerabat yang akan usai ditempuh kira-kira sehari perjalanan lagi.

Ku lihat telepon rumah di atas meja. Namun aku tidak pandai menggunakannya, aku berlari menuju pintu keluar rumah. Ku melengong ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari bantuan tetangga yang terletak agak jauh dari rumah korban.

Aku berteriak minta tolong, ke sana ke mari. Berteriak dan menangis karena terkejut. Tak ada satu orang pun yang lewat, sementara lampu masih saja redup.

Usahaku berteriak meminta tolong, sepertinya sia-sia. Aku kembali ke rumah, mencoba mencari notes nomor-nomor telepon, untungnya aku bisa mengeja bacaan, walaupun sedikit. Ku temui tulisan 'Polisi' dan beberapa digit angka tertera di buku kecil itu.

Ku coba menekan tombol-tombol telepon tadi, tak lama ia kemudian berdering. Mungkin ini pertanda telepon sebentar lagi tersambung.

Ternyata benar. Suara bulat persis seperti suara polisi yang ku dengar lewat televisi menjawab, kemudian suara itu bertanya, ada apa.

Ku ceritakan semua peristiwa yang kualami setengah jam ke belakang. Polisi itu kembali menjawab bahwa mereka akan segera datang ke tempat kejadian lalu memintaku untuk tetap tenang dan tidak menyentuh korban. Kemudian ku tutup telepon. Lalu terperangah, bersandar ke dinding. Menangis dan ketakutan.

Masih ku pandangi wajah korban. Mengeringkan dan mengenaskan. Semua korban mengalami luka lebam di sekujur tubuh mereka. Dua perempuan, lehernya seperti dicekik hingga tak bernafas lagi. Satu lelaki kepalanya bercucuran darah, ditembaki. Berlubang kepalanya.

Selera makanku tak ada lagi. Lenyap. Aku menyesal masuk dan singgah ke rumah ini. Aku tak tahu apa-apa. Dan semakin takut dan bingung.

Sekejap, lampu telah kembali hidup. Hujan sudah reda sepenuhnya. Ingin ku pergi dari sini. Namun sirene mobil polisi sudah di depan rumah.

Mereka bergerubun memasuki rumah. Tiga orang berpakaian polisi, namun duanya lagi pakai jas lengkap. Tak tahu siapa. Mungkin detektif atau siapalah. Aku tak terlalu memikirkan hal itu. Namun mereka yang berpakaian jas tadi, mulai mencatat-catat, tak tahu juga apa yang mereka catat. Lalu salah satu dari mereka memegangi pergelangan tangan korban. Mengecek denyut nadi. Dan mereka menggeleng. Pertanda korban sudah tiada.

Para polisi menjulurkan sesuatu seperti tali berwarna kuning, sepanjang ruangan mengelilingi korban, tali itu ada tulisan berwarna hitam. Aku tak paham, karena berbahasa asing. Dan tak tahu tali itu disebut apa.

Salah satu petugas berlari menuju komandan mereka. Dan menunjukkan senjata yang kupegangi tadi. Akan dijadikan barang bukti. Lagi-lagi aku yang bodoh ini tak paham.

Komandan polisi itu berjalan mendekati diriku yang terkapar tak berdaya dekat telepon. Takut, bingung, menangis, dan lapar. Semua rasa saat itu bercampur menjadi satu saat itu juga.

Mungkin mereka akan menangkapku lalu memasukkan aku ke penjara yang
dingin dan penuh orang jahat itu. Pikir pendekku.

Hal mengejutkan terjadi. Tiba-tiba ada orang yang memanggilku. Memekik-mekik. Aku berusaha mendengarnya, aku hendak berdiri dan bangkit, tapi tubuhku kaku. Tak mampu bergerak. Melengong saja tak sanggup lagi. Apalagi berdiri.

Aku semakin bingung, kenapa semua orang di tempat kejadian, tiba-tiba hilang. Ada apa ini. Apa yang terjadi?. Tangis ku pecah seketika. Lagi-lagi yang bisa ku lakukan setelah tubuhku kaku ialah menangis tersedu-sedu.

Entah bagaimana, aku merasa basah, aku merasa kehabisan pernafasan. Pangkal bagian dalam hidungku terasa sakit, seperti kemasukan air. Aku terguncang-guncang. Rasa langit dan seisinya akan runtuh. Apakah hari sudah kiamat?.

Diriku terus saja bertanya-tanya, ada apa lagi ini? cobaan apa lagi yang menimpa diriku? Tak puaskah Tuhan mengujiku, setelah kejadian pembunuhan ini terjadi? Aku berdoa di dalam hati, Ya Tuhan, selamatkan aku.

Suara misterius tadi kembali terdengar memanggil namaku. Terdengar familier. Pekikan itu seperti nyanyian Malaikat.

Suara Ibuku.

Mataku perlahan terbuka. Aku bingung. Di mana aku sekarang? Kulihat di samping dipanku, ada ibuku berkecak pinggang lalu meletakkan ember yang dipeganginya di lantai, sepertinya akan mengomel.

Aaiih. Lirihku.

Kasurku basah. Aku sadar, aku bermimpi. Sekarang betul terasa, hidungku sakit
dan badanku basah semua.

Dugaanku benar lagi. Ibuku langsung mengomel, karena aku tak bangun-bangun. Mungkin khawatir terjadi apa-apa pada diriku. Ha iya. Mungkin saja kan?.

Kulihat jam dinding kamarku, angka sembilan ditunjuk oleh jarum jam. Aku berlari, mencari handuk. Kemudian langsung menuju kamar mandi, karena terpikir aku sudah telat pergi ke sekolah.

Namun setelah mandi, aku teringat wajah ibuku saat aku bergegas menuju kamar mandi tadi. Sepertinya beliau bingung. Hmm. Kenapa ya?.

Aku baru teringat, aku libur sekolah karena wabah covid-19. Ya ampun. Kok aku jadi ngigau gini sih?.

Setelah sadar sepenuhnya dan membereskan kamar tidurku. Malam harinya, aku pergi menuruti ibuku, ingin bertanya kenapa ketika aku tidur, untuk membangunkanku harus disiram segala?.

Ibuku yang sedang menonton sinetron dengan camilan kerupuk kentangnya dan ditemani segelas air teh manis, fokusnya tiba-tiba teralihkan sebab aku memanggilnya. Lalu bertanya kenapa?

Langsung saja, tanpa basa-basi. Aku bertanya kenapa ibu menyiramku tadi pagi?.

Aku terkejut sekali. Ibuku tertawa terkekeh-kekeh. Cukup lama, ditambah dengan wajahku yang mengerunyutkan alis sebab bingung. Lucu menurut beliau, barangkali. Lalu beliau berusaha menenangkan diri dari tawanya yang
menggelegar. Lalu menghela nafas, kemudian meletakkan camilannya dan sedikit menyeruput teh manisnya.

Ibuku lalu menceritakan perihal kejadian tadi pagi, kata beliau, beliau sudah membangunkanku subuh tadi, dan aku menjawab aku akan bangun sebentar lagi.

Selepas ditinggal, ibuku mengira aku sudah bangun. Namun hari sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Dan aku masih belum tampak keluar dari kamar. Biasanya aku tak seperti itu.

Ibuku manjanguah ke kamarku. Ternyata aku masih belum bangun. Lalu ia mencoba membangunkanku. Tapi aku tak kunjung bangun-bangun, dan aku menangis dalam keadaan tertidur, sesekali mengigau, ibuku khawatir. Lalu mengguguh badanku supaya lekas bangun, lagi-lagi aku tak bisa bangun dan masih menangis. Semakin khawatir. Ibuku langsung mengambil air lalu menyiramnya ke atas tubuhku. Setelah menunggu kira-kira dua menit. Aku membuka mata. Ibuku lega dan terasa agak letih, karena kekhawatirannya dan mungkin sudah capek mengambil air ke kamar mandi untuk menyiramku.

Setelah mendengar cerita dari ibu. Kami sama-sama terdiam kemudian saling menatap satu sama lain. Dan tertawa terkekeh bersama. Hahaha.

Berbalik bertanya, ibuku menanyakan penyebab aku menangis dalam tidur tadi. Aku menceritakannya. Lalu ibuku bergidik agak ngeri mendengar ceritaku tentang mimpi tadi. Lalu memberi nasehat kepadaku, supaya ketika hendak tidur itu, Salat Isya dulu dan jangan lupa baca doa sebelum menutup mata. Aku mengiyakan dan mengambil pelajaran dari perkataan ibu tadi.

Memang salahku. Aku tidak Salat Isya dulu sebelum tidur, pun aku juga tidak baca doa sebelum tidur. Karena aku tertidur sehabis menonton film detektif yang mengungkap tentang pembunuhan di gawai ku.

"Huft...ya sudahlah, semoga ini jadi pelajaran bagiku.”

Panampuang, 4 Mai 2020
Fajriaty Jamiyl
Justic Media

Situs ini adalah ruang publikasi berita dan informasi dan karya seni santri-santri Pondok Pesantren MTI Canduang, Agam, Sumatera Barat, Indonesia yang dikelola oleh Jurnalis Santri Tarbiyah Islamiyah Canduang sejak Selasa 07 Agustus 2007

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama